I.
Manusia
sesuai dengan kodratnya itu menghadapi tiga persoalan yang bersifat universal, dikatakan demikian karena persoalaan tersebut
tidak tergantung pada kurun waktu ataupun latar belakang historis kultural
tertentu. Persoalan itu menyangkut tata hubungan atar dirinya sebagai mahluk
yang otonom dengan realitas lain yang menunjukkan bahwa manusia juga merupakan
makhluk yang bersifat dependen. Persoalaan lain menyangkut kenyataan bahwa
manusia merupakan makhluk dengan kebutuhan jasmani yang nyaris tak berbeda
dengan makhluk lain seperti makan, minum, kebutuhan akan seks, menghindarkan
diri dari rasa sakit dan sebagainya tetapi juga sebuah kesadaran tentang
kebutuhan yang mengatasinya, menstrandensikan kebutuhan jasmaniah, yakni rasa
aman, kasih sayang perhatian, yang semuanya mengisyaratkan adanya kebutuhan
ruhaniah dan terakhir, manusia menghadapi problema yang menyangkut kepentiangan
dirinya, rahasia pribadi, milik pribadi, kepentingan pribadi, kebutuhan akan
kesendirian, namun juga tak dapat disangkan bahwa manusia tidak dapat hidup
secara “soliter” melainkan harus “solider” ,
hidupnya tak mungkin dijalani sendiri tanpa kehadiran orang lain. Belum lagi
manusia dalam konsep Islam mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat
berat yaitu “Abdul Allah “ (hamba Allah) satu sisi dan
sekaligus sebagai “Kholifah fil Ardli” (wakil Allah di muka bumi.
Sejarah
filsafat bermula di pesisir samudera Mediterania bagian
timur, pada abad ke-6 SM. Sejak semula, filsafat ditandai dengan rencana ummat
manusia untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia dan Tuhan. Itulah
sebabnya, sehingga Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup dari
seorang atau masyarakat bangsa. Oleh karena filsafat menjadi kerangka acuan
dalam menentukan pola kehidupan warga suatu masyarakat bangsa tersebut. Dengan
demikian filsafat sebagai pandangan hidup menyangkut pula tentang hubungannya
dengan manusia. Tepatnya adalah pandangan filsafat tentang manusia dalam kaitan
dengan kepentingan pendidikan, sebab upaya yang paling efektif untuk mewariskan
nilai-nilai yang termuat dalam pandangan hidup dimaksud adalah melalui
pendidikan.
Untuk
itu kelompok kami akan sedikit memaparkan mengenai hakikat dan peran manusia
dalam filsafat pendidikan islam. Untuk pembahasan lebih lanjut terdapat pada
bab pembahsan selanjutnya.
A.
Hakikat
manusia menurut filsafat pendidikan islam
Pandangan
Filsafat Tentang Hakikat Manusia
Segala sesuatu
yang diciptakan Allah bukanlah dengan percuma, tetapi dengan maksud-maksud
tertentu yang diinginkan Allah. Demikianlah diantara seluruh makhluk ciptaan Allah,
terdapatlah makhluk pilihanNya yaitu makhluk manusia. Manusia dalam
kesadarannya melihat dirinya sendiri sebagai terhubung dengan alam semesta,
meskipun pengertian itu tidak terang dan terucapkan. Pengertian itu tersirat
dalam kesadaran eksplisit atau terang-terangan.
Dalam hubungan
manusia dengan alam jasmani tidak berarti bahwa hubungan itu lebih dahulu
daripada hubungan kita dengan sesama manusia. Demikianlah manusia itu mengerti,
mengalami dan merasakan alam jasmani. Dengan demikian ia memasuki alam jasmani.
Dan hanya dengan demikian itu ia menjadi sadar akan dirinya sendiri.
Jadi hanya
dengan keluar dari dirinya sendiri ia memasuki dirinya sendiri. Manusia itu
adalah sesuatu yang dengan mengasingkan dirinya sendiri, dari dirinya sendiri,
menemukan dirinya sendiri, dalam dirinya sendiri.[1]
Ilmu yang mempelajari tentang hakekat mansia
disebut Antropologi Filsafat. Hakikat berarti adanya berbicara menganai
apa manusia itu, ada empat aliran yang dikemukakan yaitu: Aliran serba zat,
aliran serba ruh, aliran dualisme, aliran eksistensialisme.
Aliran Serba
Zat
Aliran serba zat ini mengatakan yang
sungguh-sungguh ada, itu hanyalah zat materi, alam ini adalah zat atau materi
dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu manusia adalah zat atau
materi. Manusia sebagai
makhluk materi, maka pertumbuhannya berproses dari materi juga. Sel telur dari
sang ibu bergabung dengan sperma sang ayah, tumbuh menjadi janin yang akhirnya
ke dunia sebagai manusia. Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa pikiran,
perasaan(tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, khayalan, asosiasi,
penghayatan dan sebagainya) dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh).[2]
Oleh karena itu manusia sebagai materi, maka keperluan-keperluannya juga
bersifat materi, ia mendapatka kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya juga dari
materi karena materi itu adanya di dunia ini, maka terbentuklah suatu sikap
pandangan yang materialistis. Oleh karena materi itu adanya di dunia ini, maka
pandangan materialistis itu identik dengan pandangan hidup yang bersifat
duniawi, sedangkan hal-hal yang bersifat ukhrawi (akhirat) dianggap sebagai
khayalan belaka.
Aliran Serba
Ruh
Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu
yang ada didunia ini ialah ruh, juga hakekat manusia adalah ruh, adapun zat itu
adalah manifestasi dari pada ruh di atas dunia ini. Fiche mengemukakan bahwa
segala sesuatu yang lain (selain ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu
jenis perumpamaan, peubahan atau penjelmaan dari ruh (Gazalba, 1992:
288). Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi
nilainya daripada meteri. Hal ini mereka buktikan dalam kehidupan sehari-hari,
yang mana betapapun kita mencintai seseorang jika ruhnya pisah dengan badannya,
maka materi/jasadnya tidak ada artinya. Dengan demikian aliran ini menganggap ruh itu ialah hakikat, sedangkan
badan ialah penjelmaan atau bayangan.
Aliran
Dualisme
Aliran ini menggangap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri dari dua
subtansi, yaitu jasmani dan rohani. Keduanya subtansi ini masing-masing
merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan
tidak bersal dari ruh dan tidak bersal dari badan. Perwujudannya manusia tidak
serba dua, jasad dan ruh. Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat yang mana
keduanya saling mempengaruhi. Jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya ruh tidak berasal
dari badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh
yang keduanya berintergrasi membentuk yang disebut manusia. Antara badan dan
ruh terjalin hubungan yang bersifat kausal. Artinya atara keduanya saling
pengaruh mempengaruhi. Apa yang terjadi di satu pihak akan mempengaruhi di
pihak lain. Sebagai contoh, orang cacat jasmaninya akan berpengaruh pada
perkembangan jiwannya. Sebaliknya orang yang jiwanya cacat atau kacau akan
berpengaruh pada fisiknya.
Aliran
Eksistensialisme
Aliran filsafatr modern berpikir tentang hakikat
manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi
intinya hakikat manusia itu, yaitu apa yang menguasai manusia secara
menyeluruh. Di sini manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba ruh
atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi itu
sendiri didunia ini.[3]
Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan
berkaitan antara badan dan ruh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan
ruh adalah subtansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan
oleh Allah, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia
menurut hukum alam material. Pendirian Islam bahwa manusia terdiri dari
subtansi, yaitu meteri dari ilmu dan ruh yang berasal dari Tuhan, maka hakikat
pada manusia adalah ruh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh
ruh saja, tanpa kedua subtansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.Pemikiran
filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology,
philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi.[4]
Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat
pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos).
Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang
pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa
menempatkan dirinya sebagai pengabdi yang setia, maka manusia diberi anugerah
berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind). Sedangkan
pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu
berlajan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan
potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi),
oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan
Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus
berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan. Adapun manusia sebagai makhluk
dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat
oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan FPI,
manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya
pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan
bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus
terikat (tidak bebas nilai).
Hakikat Allah menciptakan manusia
Pemikiran
tentang hakikat manusia sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang
ini juga belum berakhir dan munkin tak akan pernah berakhir. Ternyata orang
menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang. Ada yang menyelidiki
manusia dari segi fisik yaitu antropologi fisik, adapula yang menyelidiki
dengan sudut pandang budaya yaitu antropologi budaya. Sedangkan yang
menyelidiki manusia dari sisi hakikatnya disebut antropologi filsafat. Manusia
disisi Allah adalah sebagai salah satu ciptaan (makhluk) Allah. Sebagaimana
dalam QS. 96 : 2“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah[5].”
QS. 2 : 21“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”[6]
Makna yang paling mendasar yang dapat diambil dari hal ini (manusia sebagai makhluk) adalah bahwa manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sesungguhnya semua yang diciptakan oleh Allah memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sedangkan Allah Maha Sempurna, tidak memiliki kekurangan, keterbatasan atau kelemahan.Yang menunjukkan hal tersebut adalah ucapan “Subhanallah”, “Maha Suci Allah dari serba kekurangan dan keterbatasan”. Oleh karena itu tidaklah pantas manusia sebagai ciptaan untuk menyombongkan dirinya. Allahlah yang pantas sombong, karena Allah adalah dzat yang sempurna. Allah swt memeberikan keutamaan lebih kepada manusia dari pada makhluk yang lain. Manusia dilantik menjadi Abdullah dan Khalifatullah dimuka bumi ini untuk memakmurkannya. Oleh karena itu dibebenkan kepada manusia amanah Attaklif, dan diberikankan pula kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta memelihara nilai-nilai kemuliaan. Kemuliaan yang diberikan bukanlah karena bangsanya, warna kulitnya, kecantikannya, perawakannya, harkat, derajat, akan tetapi semata-matakarena iman dan takwa kepada Allah swt. Semua itu dijelaskan dalam surat al-baqoroh ayat 21 yang artinya “hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa. Dan ayat 30 yang artinya “dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “aku hendak menjadikan kholifah di bumi” mereka berkata apakah engkau akan menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan aku memujimu dan mensucikanmu, Dia berfirman sungguh aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.[7]
Makna yang paling mendasar yang dapat diambil dari hal ini (manusia sebagai makhluk) adalah bahwa manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sesungguhnya semua yang diciptakan oleh Allah memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sedangkan Allah Maha Sempurna, tidak memiliki kekurangan, keterbatasan atau kelemahan.Yang menunjukkan hal tersebut adalah ucapan “Subhanallah”, “Maha Suci Allah dari serba kekurangan dan keterbatasan”. Oleh karena itu tidaklah pantas manusia sebagai ciptaan untuk menyombongkan dirinya. Allahlah yang pantas sombong, karena Allah adalah dzat yang sempurna. Allah swt memeberikan keutamaan lebih kepada manusia dari pada makhluk yang lain. Manusia dilantik menjadi Abdullah dan Khalifatullah dimuka bumi ini untuk memakmurkannya. Oleh karena itu dibebenkan kepada manusia amanah Attaklif, dan diberikankan pula kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta memelihara nilai-nilai kemuliaan. Kemuliaan yang diberikan bukanlah karena bangsanya, warna kulitnya, kecantikannya, perawakannya, harkat, derajat, akan tetapi semata-matakarena iman dan takwa kepada Allah swt. Semua itu dijelaskan dalam surat al-baqoroh ayat 21 yang artinya “hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa. Dan ayat 30 yang artinya “dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “aku hendak menjadikan kholifah di bumi” mereka berkata apakah engkau akan menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan aku memujimu dan mensucikanmu, Dia berfirman sungguh aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.[7]
B.
Peran
manusia dalam filsafat pendidikan islam
Manusia
sebagai hamba Allah
Pada pembahasan terdahulu telah banyak
disinggung mengenai manusia di sebut abd Allah. Dalam konteks konsep hamba
Allah, manusia harus menyadari betul akan dirinya sebagai abdi. Hal ini berati
bahwa manusia harus menempatkan dirinya sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat
kepada semua ketentuan pemiliknya, yaitu allah SWT. Hal ini di dasarkan pada petunjuk ayat yang artinya “tidaklah Aku
menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah atau ibadah
kepadaKu”(Qur’an surat al dzariat:51:56). Pengertian ibadah dalam ayat ini
menurut Langgulung adalah merupakan pengembangan kefitrahan itu
setinggi-tingginya, yang oleh aliran kemanusiaan disebut perwujudan diri(self
actualization).
Musa As‘ari mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan,
ketundukan, kepatuhan, yang semuanya itu hanya layak diberikan pada Tuhan.
Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamnya yang senantiasa berlaku baginya. Ia
terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadikan kodrat pada setiap ciptaannya,
manusia menjadi bagian darin ciptaannya, ia bergantung pada sesamanya, hidup
dan mati menjadi bagian yang pasti. Akan tetapi manusia tidak terikat
sepenuhnya oleh hukum-hukum alamnya saja. Karena sebagai makhluk yang
dilebihkan dari pada ciptaan Tuhan lainnya. Manusia diberikan kemampuan akalnya
sehingga mampu mengolah potensi alam menjadi sesuatu yang baru yang diperlukan
bagi kehidupannya. Dalam perkembangannya manusia pun terikat oleh hukum-hukum
berfikir dalam upaya engembangkan untuk menentukan pilihan dan bebas untuk
menggunakan akalnya. Sedangkan ‘abd adalah seorang yang telah kehilangan
wewenang untuk menetukan pilihan dan kehilangan kebebasan untuk berbuat. Esensi
seorang kholifah adalah kebebasan dan kreatifitas, sedangkan seorang ‘abd
adalah ketaatan dan kepatuhan.
Dengan demikian
kedudukan manusia dialam raya ini disamping sebagai kholifah yang memiliki
kekuasaan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang
dimilikinya juga sekaligus sebagai ‘abd yaitu seluruh usaha dan
aktifitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah. Untuk
dapat melaksanakan fungsi kekholifahan dan ibadah dengan baik ini manusia perlu
diberikan pendidikan, pengajaran, pengalaman, ketrampilan, teknologi, dan
sarana pendukung lainnya. Ini menunjukka bahwa konsep kekholifahan dan ibadah
dalam al qur’an erat kaitannya dengan pendidikan. Manusia yang dapat
melaksanakan fungsi-fungsi yang demikian itulah yang diharapkan muncul dari
kegiatan usaha pendidikan.[8]
Manusia
sebagai kholifah Allah
Dalam berbagai literatur yang membahas mengenai peran mausia alam
semesta ini selalu dihubungkan dengan konsep kekholifahan manusia dibumi dan
konsep ibadah.
Jika diamati dengan seksama bahwa istilah kekholifahan dalam bentuk
mufrod yang berarti penguasa politik hanya digunakan untuk nabi-nabi yang dalam
hal ini nabi Adam a.s dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedang
untuk manusia biasa digunakan istilah kholaif daripada kholifah. Namun demikian
yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah bahwa manusia sebagai kholifah
dimuka bumi ini. Pendapat yang demikian tidak ada salahnya karena dalam istilah
kholaif sudah terkandung istilah kholifah. Sebagai seorang kholifah ia
berfungsi menggantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukannya.
Kekuasaan seorang kholifah itu pada dasrnya tidaklah bersifat
mutlak, karena kekuasaannya dibatasi oleh pemberi mandat kekholifahan yaitu
Tuhan. Dan sebagai pemegang mandat Tuhan, seorang kholifah tidak di bolehkan
melawan hukum-hukum yang diciptakan Tuhan.
Hasan Langgulung mengatakan bahwa manusia dianggap sebagai kholifah
Allah tidak dapat memegang tanggung jawab sebagai kholifah kecuali kalau ia
perlengkapi dengan potensi-potensi yang membolehkannya berbuat demikian. Lebih
lanjut Langgulung mengatakan bahwa al qur’an menyatakan beberapa ciri yang
dimiliki manusia untuk mampu melaksanakan fungsi kekholifahannya.[9]
Al-Qur’an
tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara kebetulan, atau
tercipa dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan
untuk mengemban satu tugas sebagai khalifah di muka bumi ini, sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS. 2 :30). Ia dibekali Tuhan
dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan di dunia ke
arah yang lebih baik. M. Quraisy Shihab menyimpulkan bahwa kata khalifah itu
mencakup dua pengertian.[10]
a.
orang
yang di beri kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.
b.
khalifah
memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan
dan kekeliruan.
Beranjak
dari pemahaman bahwa ada dua unsur sehungan dengan makna khalifah yakni unsure
intern (mengarah pada hubungan horizontal) yang berkaitan dengan manusia, alam
raya dan antar manusia dengan alam raya. Dan unsur ekstern (kaitannya dengan
hubungan vertical) yaitu penugasan Allah kepada manusia sebagai mandataris
Allah dan pada hakekatmnya eksistensi manusia dalam kehidupan ini adalah
membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai dengan kehendak
penciptanya. Tugas kekhalifahan tersebut meang sangat berat. Namun status ini
menunjukkan arah peran manusia sebagai penguasa di bumi atas petunjuk Allah.
Selain itu, dari tugas tersebut menggambarkan bahwa akan kedudukan manusia
selaku makhluk ciptaanNya yang paling mulia.
Manusia
Sebagai Penjaga Kelestarian Alam
Allah
telah melengkapi manusia dengan potensi-potensi rohaniah yang lebih dari pada
makhluk-makhluk hidup yang lain. Terutama potensi akal. Maka manusia juga di
bebani tugas, di samping tugas dengan memanfaatkan ala mini dengan
sebaik-baiknya dengan memelihara dan melestarikan ala mini dan dilarang untuk
merusaknya.
Artinya : ”apabila
telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS.
Jumu’ah : 10)
C.
Hakikat dan Peran Manusia dalam Filsafat Pendidikan Islam
Dalam pandangan islam mengenai hakikat manusia, islam memandang
bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan perkaitan antara badan dan
ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri yang
tidak tergantung adanya oleh yang lain. Islam mengatakan secara tegas bahwa
kedua substansi (substansi: unsur asal sesuatu yang ada) dua-duanya adalah
substansi alam. Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya juga makhluk yang
diciptakan oleh Allah SWT.
Maka hakikat
pada manusia adalah ruh,sedangkan jasad nya hanyalah alat yang dipergunakan
oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat
sekunder dan ruh adalah yang primer, karena ruh saja tanpa jasad yang material
tidak dapat dinamakan manusia.
Dalam
diri manusia, pada hakikatnya terdapat sifat dan unsur-unsur ketuhanan karena
dalam proses kejadiannya kepada manusia telah ditiupkan ruh dari Tuhan.Sifat
dan unsur ketuhanan dalam diri manusia tersebut berupa potensi-potensi
pembawaan yang dalam proses kehidupannya manusia merealisir dan menjabarkannya
dalam tingkah laku dan tingkah nyata. Dengan demikian hidup dan kehidupan
manusia itu berkembang dan mengarah kepada kesempurnaan.[11]
Bentuk dan pola peran seseorang, secara garis besar dapat kita
lihat dari kedudukan yang ditempatinya. Sedangkan untuk mengetahui hal itu,
kita perlu tahu akan penamaan yang disandangnya. Begitu pula tentang peran
manusia dapat dirujuk antara lain melalui berbagai sebutan yang diberikan pada
manusia.
Dalam
Alqur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain : al- Basyr, al-
Insan, an- Nas, dan konsep Bani Adam yang hal ini sebagai penolakan terhadap
teori Darwin tentang evolusi bahwa manusia adalah keturunan dari kera.
Adapun pemahaman tentang peran manusia erat kaitannya dengan sebutan yang
disandangnya.
a)
Konsep
Al- Basyr
Manusia
dalam konsep al- Basyr, dipandang dari pendekatannya biologis. Sebagai mahluk
biologis berarti manusia terdiri atas unsur materi, sehingga menampilkan sosok
dalam bentuk fisik material,yaitu berupa tubuh kasar (ragawi).Berdasarkan
konsep al- Basyr, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk biologis
lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah-kaidah prinsip
kehidupan biologis lain seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan
perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan serta kedewasaan. Manusia
memerlukan makan, minum dengan kreteria halal serta bergizi (QS. 16 : 69) untuk
hidup dan ia juga butuh akan pasangan hidup melalui jalur pernikahan (QS. 2 :
187) untuk menjaga, melanjutkan proses keturunanya (QS. 17: 23-25).
b)
Konsep
Al- Insan
Al-
Insan terbentuk dari akar kata Nasiya, Nisyu yang berati lupa,
dari kata Insu artinya senang, jinak,harmonis, dan ada juga dari akar
kata Naus yang mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada
asal kata al- Insan dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki
potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental
spiritual. Di samping itu, manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain,
yang berpeluang untuk mendorong ia ke arah tindakan, sikap, serta prilakun
negatifdan merugikan.
c)
Konsep
An- Nas
Kosa
kata An- Nas dalam Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai
makhluk social. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal
dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa
untuk saling kenal mengenal “berinterksi” (QS. 49 : 13). Hal ini sejalan
dengan teori “strukturalisme” Giddens yang mengatakan bahwa manusia
merupakan individu yang mempunyai karakter serta prinsip berbeda antara yang
lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social yang bisa mempengaruhi
atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam
konteks sosial.
d)
Konsep
Bani Adam
Manusia
sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-Qur’an (Muhammad Fuad Abd
al- Baqi :1989). Menurut a- Gharib al- Ishfahany, bani berarti keturunan dari
darah daging yang dilahirkan.Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut
Christyono Sunaryo. bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah SWT jutaan
tahun sebelum Nabi Adam AS diturunkan dibumi , 7000 thn yang lalu. Pada waktu
itu Allah SWT sudah menciptakan “manusia” (somekind of humanoid) jauh sebelum
Nabi Adam AS diturunkan.[12]
Kemudian
para ahli pendidikan muslim uumumnya sependapat bahwa teori dan praktek
kependidikan islam harus di dasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia.
Pembicaraan di seputa persoalan ini adalah sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan.
Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan akan meraba-raba. Bahkan menurut
Ali Ashraf, pendidikan islam tidak akan dapat di pahami secara jelas tanpa
terlebih dahulu memahami islam tentang pengembangan individu seutuhnya.
Setidaknya
ada dua implikasi terpenting dalam hubungannya dengan pendidikan islam, yaitu :
1.
Karena
manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan
immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu kea rah
realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Hal ini berarti bahwa
system pendidikan islam harus di bangun di atas konsep kesatuan (integrasi)
antara pendidikan Qalbiyah dan Aqliyah sehingga mampu menghasilkan manusia muslim
yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen
itu terpisah atau dipisahkan dalam proses kependidikan islam, maka manusia akan
kehilangan keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi pribadi-pribadi yang
sempurna (Al-insan Al-Kamil)
2.
Al-Qur’an
menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di ala mini adalah sebagai khalifah
dan’abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah SWT membekali manusia
dengan seperangkat potensi. Dalam konteks ini, maka pendidikan islam harus
merupakan upaya yang di tujukan kea rah pengembangan potensi yang di miliki
manusia secara maksimal sehingga dapat di wujudkan dalam bentuk konkrit.
Kedua
hal diatas harus menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan mengembangkan system
pendidikan islam masa kini dan masa depan. Fungsionalisasi pendidikan islam
dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada sejauh mana kemampuan umat
islam menterjemahkan dan merealisasikan konsep filsafat penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam
semesta ini. Untuk menjawab hal itu, maka pendidikan islam di jadikan sebagai
sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya
islami dari satu generasi kepada generasi
berikutnya. Dalam konteks ini di fahami bahwa posisi manusia sebagai khalifah
dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang menawarkan sepenuhnya
penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegar sebagai khalifah
dan taqwa sebagai subtansi dan aspek ‘abd. Sementara itu, keberadaan manusia sebagai resultan dari dua
komponen (mater dan immateri) menghendaki pula program pendidikan yang
sepenuhnya mengacu pada konsep equilibrium, yaitu integrasi yang utuh
antara pendidikan aqliyah dan qalbiyah.
Agar
pendidikan umat berhasil dalam prosesnya, maka konsep penciptaan manusia dan
fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus sepenuhnya diakomodasikan dalam
perumusan teori-teori pendidikan islam melalui pendekatan kewahyuan, empiric
keilmuan dan rasional filosofis. Dalam hal ini harus difahami pula bahwa
pendekatan keilmuan dan filosofis hanya merupakan media untuk menalar
pesan-pesan tuhan yang absolute, baik melalui ayat-ayatNya yang bersifat tekstual (Qur’aniyah),
maupun ayat-ayat Nya yang bersifat kontekstual (Kauniyah) yang telah di
jabarkanNya melalui sunnatullah.
[1] Drs.
Burhanuddin Salam, Filsafat Manusia(antropologi metafisika(,Jakarta:
Bina aksara, 1998), hal.20
[2] Sidi
Gazalba, Sistimatika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang), 1973, hal.393
[4] Prof.
Dr. Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Al-Husna
Zikra Cet.I, 2000), hal. 302.
[5]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV
Diponegoro, 2010), hal 597
[6] Ibid hal 4
[8] Prof.Dr.H.Abuddin Nata,MA, Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005, hlm.88
[9]
Prof.Dr.H.Abuddin Nata,MA, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama), 2005, hlm.89
[10] Dr. M. Quraisy Shihab, Membumikan
al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”, (Bandung,
Mizan, Cet. XXV, 2003), hal. 158
[11] Dra.
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1991,
hlm.77
[12] Hakikat
Manusia Dalam Filsafat Islam http://www.jaringankomputer.org/filsafat-pendidikan-islam/, sabtu,
10/03/2012