Senin, 09 April 2012

hakikat manusia dalam filsafat pndidikan islam


       I.
Manusia sesuai dengan kodratnya itu menghadapi tiga persoalan yang bersifat universal, dikatakan demikian karena persoalaan tersebut tidak tergantung pada kurun waktu ataupun latar belakang historis kultural tertentu. Persoalan itu menyangkut tata hubungan atar dirinya sebagai mahluk yang otonom dengan realitas lain yang menunjukkan bahwa manusia juga merupakan makhluk yang bersifat dependen. Persoalaan lain menyangkut kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk dengan kebutuhan jasmani yang nyaris tak berbeda dengan makhluk lain seperti makan, minum, kebutuhan akan seks, menghindarkan diri dari rasa sakit dan sebagainya tetapi juga sebuah kesadaran tentang kebutuhan yang mengatasinya, menstrandensikan kebutuhan jasmaniah, yakni rasa aman, kasih sayang perhatian, yang semuanya mengisyaratkan adanya kebutuhan ruhaniah dan terakhir, manusia menghadapi problema yang menyangkut kepentiangan dirinya, rahasia pribadi, milik pribadi, kepentingan pribadi, kebutuhan akan kesendirian, namun juga tak dapat disangkan bahwa manusia tidak dapat hidup secara “soliter” melainkan harus “solider” , hidupnya tak mungkin dijalani sendiri tanpa kehadiran orang lain. Belum lagi manusia dalam konsep Islam mempunyai tugas dan  tanggung jawab yang sangat berat yaitu  “Abdul Allah “ (hamba Allah) satu sisi dan sekaligus sebagai “Kholifah fil Ardli(wakil Allah di muka bumi.
Sejarah filsafat bermula di pesisir samudera Mediterania bagian timur, pada abad ke-6 SM. Sejak semula, filsafat ditandai dengan rencana ummat manusia untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia dan Tuhan. Itulah sebabnya, sehingga Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup dari seorang atau masyarakat bangsa. Oleh karena filsafat menjadi kerangka acuan dalam menentukan pola kehidupan warga suatu masyarakat bangsa tersebut. Dengan demikian filsafat sebagai pandangan hidup menyangkut pula tentang hubungannya dengan manusia. Tepatnya adalah pandangan filsafat tentang manusia dalam kaitan dengan kepentingan pendidikan, sebab upaya yang paling efektif untuk mewariskan nilai-nilai yang termuat dalam pandangan hidup dimaksud adalah melalui pendidikan.
Untuk itu kelompok kami akan sedikit memaparkan mengenai hakikat dan peran manusia dalam filsafat pendidikan islam. Untuk pembahasan lebih lanjut terdapat pada bab pembahsan selanjutnya.
 A.    Hakikat manusia menurut filsafat pendidikan islam
Pandangan Filsafat Tentang Hakikat Manusia
Segala sesuatu yang diciptakan Allah bukanlah dengan percuma, tetapi dengan maksud-maksud tertentu yang diinginkan Allah. Demikianlah diantara seluruh makhluk ciptaan Allah, terdapatlah makhluk pilihanNya yaitu makhluk manusia. Manusia dalam kesadarannya melihat dirinya sendiri sebagai terhubung dengan alam semesta, meskipun pengertian itu tidak terang dan terucapkan. Pengertian itu tersirat dalam kesadaran eksplisit atau terang-terangan.
Dalam hubungan manusia dengan alam jasmani tidak berarti bahwa hubungan itu lebih dahulu daripada hubungan kita dengan sesama manusia. Demikianlah manusia itu mengerti, mengalami dan merasakan alam jasmani. Dengan demikian ia memasuki alam jasmani. Dan hanya dengan demikian itu ia menjadi sadar akan dirinya sendiri.
Jadi hanya dengan keluar dari dirinya sendiri ia memasuki dirinya sendiri. Manusia itu adalah sesuatu yang dengan mengasingkan dirinya sendiri, dari dirinya sendiri, menemukan dirinya sendiri, dalam dirinya sendiri.[1]
Ilmu yang mempelajari tentang hakekat mansia disebut Antropologi Filsafat. Hakikat berarti adanya berbicara menganai apa manusia itu, ada empat aliran yang dikemukakan yaitu: Aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, aliran eksistensialisme.
Aliran Serba Zat
Aliran serba zat ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada, itu hanyalah zat materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu manusia adalah zat atau materi. Manusia sebagai makhluk materi, maka pertumbuhannya berproses dari materi juga. Sel telur dari sang ibu bergabung dengan sperma sang ayah, tumbuh menjadi janin yang akhirnya ke dunia sebagai manusia. Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa pikiran, perasaan(tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, khayalan, asosiasi, penghayatan dan sebagainya) dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh).[2] Oleh karena itu manusia sebagai materi, maka keperluan-keperluannya juga bersifat materi, ia mendapatka kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya juga dari materi karena materi itu adanya di dunia ini, maka terbentuklah suatu sikap pandangan yang materialistis. Oleh karena materi itu adanya di dunia ini, maka pandangan materialistis itu identik dengan pandangan hidup yang bersifat duniawi, sedangkan hal-hal yang bersifat ukhrawi (akhirat) dianggap sebagai khayalan belaka.
Aliran Serba Ruh
Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada didunia ini ialah ruh, juga hakekat manusia adalah ruh, adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh di atas dunia ini. Fiche mengemukakan bahwa segala sesuatu yang lain (selain ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis perumpamaan, peubahan atau penjelmaan dari ruh (Gazalba, 1992: 288). Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada meteri. Hal ini mereka buktikan dalam kehidupan sehari-hari, yang mana betapapun kita mencintai seseorang jika ruhnya pisah dengan badannya, maka materi/jasadnya tidak ada artinya. Dengan demikian aliran ini menganggap ruh itu ialah hakikat, sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan.
Aliran Dualisme
Aliran ini menggangap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri dari dua subtansi, yaitu jasmani dan rohani. Keduanya subtansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak bersal dari ruh dan tidak bersal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad dan ruh. Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat yang mana keduanya saling mempengaruhi. Jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh yang keduanya berintergrasi membentuk yang disebut manusia. Antara badan dan ruh terjalin hubungan yang bersifat kausal. Artinya atara keduanya saling pengaruh mempengaruhi. Apa yang terjadi di satu pihak akan mempengaruhi di pihak lain. Sebagai contoh, orang cacat jasmaninya akan berpengaruh pada perkembangan jiwannya. Sebaliknya orang yang jiwanya cacat atau kacau akan berpengaruh pada fisiknya.
Aliran Eksistensialisme
Aliran filsafatr modern berpikir tentang hakikat manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya hakikat manusia itu, yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Di sini manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi itu sendiri didunia ini.[3]
Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan berkaitan antara badan dan ruh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan ruh adalah subtansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam material. Pendirian Islam bahwa manusia terdiri dari subtansi, yaitu meteri dari ilmu dan ruh yang berasal dari Tuhan, maka hakikat pada manusia adalah ruh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh saja, tanpa kedua subtansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi.[4] Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai pengabdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind). Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berlajan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan. Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan FPI, manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
            Hakikat Allah menciptakan manusia
Pemikiran tentang hakikat manusia sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang ini juga belum berakhir dan munkin tak akan pernah berakhir. Ternyata orang menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang. Ada yang menyelidiki manusia dari segi fisik yaitu antropologi fisik, adapula yang menyelidiki dengan sudut pandang budaya yaitu antropologi budaya. Sedangkan yang menyelidiki manusia dari sisi hakikatnya disebut antropologi filsafat. Manusia disisi Allah adalah sebagai salah satu ciptaan (makhluk) Allah. Sebagaimana dalam QS. 96 : 2“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah[5].” QS. 2 : 21“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”[6]
Makna yang paling mendasar yang dapat diambil dari hal ini (manusia sebagai makhluk) adalah bahwa manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sesungguhnya semua yang diciptakan oleh Allah memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sedangkan Allah Maha Sempurna, tidak memiliki kekurangan, keterbatasan atau kelemahan.Yang menunjukkan hal tersebut adalah ucapan “Subhanallah”, “Maha Suci Allah dari serba kekurangan dan keterbatasan”. Oleh karena itu tidaklah pantas manusia sebagai ciptaan untuk menyombongkan dirinya. Allahlah yang pantas sombong, karena Allah adalah dzat yang sempurna. Allah swt memeberikan keutamaan lebih kepada manusia dari pada makhluk yang lain. Manusia dilantik menjadi Abdullah dan Khalifatullah dimuka bumi ini untuk memakmurkannya. Oleh karena itu dibebenkan kepada manusia amanah Attaklif, dan diberikankan pula kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta memelihara nilai-nilai kemuliaan. Kemuliaan yang diberikan bukanlah karena bangsanya, warna kulitnya, kecantikannya, perawakannya, harkat, derajat, akan tetapi semata-matakarena iman dan takwa kepada Allah swt. Semua itu dijelaskan dalam surat al-baqoroh ayat 21 yang artinya “hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa. Dan ayat 30 yang artinya “dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “aku hendak menjadikan kholifah di bumi” mereka berkata apakah engkau akan menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan aku memujimu dan mensucikanmu, Dia berfirman sungguh aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.[7]

B.     Peran manusia dalam filsafat pendidikan islam
Manusia sebagai hamba Allah
Pada pembahasan terdahulu telah banyak disinggung mengenai manusia di sebut abd Allah. Dalam konteks konsep hamba Allah, manusia harus menyadari betul akan dirinya sebagai abdi. Hal ini berati bahwa manusia harus menempatkan dirinya sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada semua ketentuan pemiliknya, yaitu allah SWT. Hal ini di dasarkan pada petunjuk ayat yang artinya “tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah atau ibadah kepadaKu”(Qur’an surat al dzariat:51:56). Pengertian ibadah dalam ayat ini menurut Langgulung adalah merupakan pengembangan kefitrahan itu setinggi-tingginya, yang oleh aliran kemanusiaan disebut perwujudan diri(self actualization).
Musa As‘ari mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan, yang semuanya itu hanya layak diberikan pada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamnya yang senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadikan kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian darin ciptaannya, ia bergantung pada sesamanya, hidup dan mati menjadi bagian yang pasti. Akan tetapi manusia tidak terikat sepenuhnya oleh hukum-hukum alamnya saja. Karena sebagai makhluk yang dilebihkan dari pada ciptaan Tuhan lainnya. Manusia diberikan kemampuan akalnya sehingga mampu mengolah potensi alam menjadi sesuatu yang baru yang diperlukan bagi kehidupannya. Dalam perkembangannya manusia pun terikat oleh hukum-hukum berfikir dalam upaya engembangkan untuk menentukan pilihan dan bebas untuk menggunakan akalnya. Sedangkan ‘abd adalah seorang yang telah kehilangan wewenang untuk menetukan pilihan dan kehilangan kebebasan untuk berbuat. Esensi seorang kholifah adalah kebebasan dan kreatifitas, sedangkan seorang ‘abd adalah ketaatan dan kepatuhan.
Dengan demikian kedudukan manusia dialam raya ini disamping sebagai kholifah yang memiliki kekuasaan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya juga sekaligus sebagai ‘abd yaitu seluruh usaha dan aktifitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah. Untuk dapat melaksanakan fungsi kekholifahan dan ibadah dengan baik ini manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pengalaman, ketrampilan, teknologi, dan sarana pendukung lainnya. Ini menunjukka bahwa konsep kekholifahan dan ibadah dalam al qur’an erat kaitannya dengan pendidikan. Manusia yang dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang demikian itulah yang diharapkan muncul dari kegiatan usaha pendidikan.[8]



Manusia sebagai kholifah Allah
Dalam berbagai literatur yang membahas mengenai peran mausia alam semesta ini selalu dihubungkan dengan konsep kekholifahan manusia dibumi dan konsep ibadah.
Jika diamati dengan seksama bahwa istilah kekholifahan dalam bentuk mufrod yang berarti penguasa politik hanya digunakan untuk nabi-nabi yang dalam hal ini nabi Adam a.s dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedang untuk manusia biasa digunakan istilah kholaif daripada kholifah. Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah bahwa manusia sebagai kholifah dimuka bumi ini. Pendapat yang demikian tidak ada salahnya karena dalam istilah kholaif sudah terkandung istilah kholifah. Sebagai seorang kholifah ia berfungsi menggantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukannya.
Kekuasaan seorang kholifah itu pada dasrnya tidaklah bersifat mutlak, karena kekuasaannya dibatasi oleh pemberi mandat kekholifahan yaitu Tuhan. Dan sebagai pemegang mandat Tuhan, seorang kholifah tidak di bolehkan melawan hukum-hukum yang diciptakan Tuhan.
Hasan Langgulung mengatakan bahwa manusia dianggap sebagai kholifah Allah tidak dapat memegang tanggung jawab sebagai kholifah kecuali kalau ia perlengkapi dengan potensi-potensi yang membolehkannya berbuat demikian. Lebih lanjut Langgulung mengatakan bahwa al qur’an menyatakan beberapa ciri yang dimiliki manusia untuk mampu melaksanakan fungsi kekholifahannya.[9]
Al-Qur’an tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara kebetulan, atau tercipa dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas sebagai khalifah di muka bumi ini, sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS. 2 :30). Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik. M. Quraisy Shihab menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian.[10]
a.       orang yang di beri kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.
b.      khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.
Beranjak dari pemahaman bahwa ada dua unsur sehungan dengan makna khalifah yakni unsure intern (mengarah pada hubungan horizontal) yang berkaitan dengan manusia, alam raya dan antar manusia dengan alam raya. Dan unsur ekstern (kaitannya dengan hubungan vertical) yaitu penugasan  Allah kepada manusia sebagai mandataris Allah dan pada hakekatmnya eksistensi manusia dalam kehidupan ini adalah membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai dengan kehendak penciptanya. Tugas kekhalifahan tersebut meang sangat berat. Namun status ini menunjukkan arah peran manusia sebagai penguasa di bumi atas petunjuk Allah. Selain itu, dari tugas tersebut menggambarkan bahwa akan kedudukan manusia selaku makhluk ciptaanNya yang paling mulia.
Manusia Sebagai Penjaga Kelestarian Alam
Allah telah melengkapi manusia dengan potensi-potensi rohaniah yang lebih dari pada makhluk-makhluk hidup yang lain. Terutama potensi akal. Maka manusia juga di bebani tugas, di samping tugas dengan memanfaatkan ala mini dengan sebaik-baiknya dengan memelihara dan melestarikan ala mini dan dilarang untuk merusaknya.
Artinya : ”apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Jumu’ah : 10)
C.    Hakikat dan Peran Manusia dalam Filsafat Pendidikan Islam
Dalam pandangan islam mengenai hakikat manusia, islam memandang bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri yang tidak tergantung adanya oleh yang lain. Islam mengatakan secara tegas bahwa kedua substansi (substansi: unsur asal sesuatu yang ada) dua-duanya adalah substansi alam. Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.
Maka hakikat pada manusia adalah ruh,sedangkan jasad nya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer, karena ruh saja tanpa jasad yang material tidak dapat dinamakan manusia.
Dalam diri manusia, pada hakikatnya terdapat sifat dan unsur-unsur ketuhanan karena dalam proses kejadiannya kepada manusia telah ditiupkan ruh dari Tuhan.Sifat dan unsur ketuhanan dalam diri manusia tersebut berupa potensi-potensi pembawaan yang dalam proses kehidupannya manusia merealisir dan menjabarkannya dalam tingkah laku dan tingkah nyata. Dengan demikian hidup dan kehidupan manusia itu berkembang dan mengarah kepada kesempurnaan.[11]
Bentuk dan pola peran seseorang, secara garis besar dapat kita lihat dari kedudukan yang ditempatinya. Sedangkan untuk mengetahui hal itu, kita perlu tahu akan penamaan yang disandangnya. Begitu pula tentang peran manusia dapat dirujuk antara lain melalui berbagai sebutan yang diberikan pada manusia.
Dalam Alqur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain : al- Basyr, al- Insan, an- Nas, dan konsep Bani Adam yang hal ini sebagai penolakan terhadap teori Darwin tentang evolusi bahwa manusia  adalah keturunan dari kera. Adapun pemahaman tentang peran manusia erat kaitannya dengan sebutan yang disandangnya.
a)             Konsep Al- Basyr
Manusia dalam konsep al- Basyr, dipandang dari pendekatannya biologis. Sebagai mahluk biologis berarti manusia terdiri atas unsur materi, sehingga menampilkan sosok dalam bentuk fisik material,yaitu berupa tubuh kasar (ragawi).Berdasarkan konsep al- Basyr, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah-kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan serta kedewasaan. Manusia memerlukan makan, minum dengan kreteria halal serta bergizi (QS. 16 : 69) untuk hidup dan ia juga butuh akan pasangan hidup melalui jalur pernikahan (QS. 2 : 187) untuk menjaga, melanjutkan proses keturunanya (QS. 17: 23-25).
b)             Konsep Al- Insan 
Al- Insan terbentuk dari akar kata Nasiya, Nisyu yang berati lupa, dari kata Insu artinya senang, jinak,harmonis, dan ada juga dari akar kata Naus yang mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada asal kata al- Insan dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke arah tindakan, sikap, serta prilakun negatifdan merugikan.
c)              Konsep An- Nas
Kosa kata An- Nas dalam Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk social. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi” (QS. 49 : 13). Hal ini sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens yang mengatakan bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai karakter serta prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social yang bisa mempengaruhi atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam konteks sosial.
d)            Konsep Bani Adam
Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-Qur’an (Muhammad Fuad Abd al- Baqi :1989). Menurut a- Gharib al- Ishfahany, bani berarti keturunan dari darah daging yang dilahirkan.Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut Christyono Sunaryo. bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah SWT jutaan tahun sebelum Nabi Adam AS diturunkan dibumi , 7000 thn yang lalu. Pada waktu itu Allah SWT sudah menciptakan “manusia” (somekind of humanoid) jauh sebelum Nabi Adam AS diturunkan.[12]
Kemudian para ahli pendidikan muslim uumumnya sependapat bahwa teori dan praktek kependidikan islam harus di dasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Pembicaraan di seputa persoalan ini adalah sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan akan meraba-raba. Bahkan menurut Ali Ashraf, pendidikan islam tidak akan dapat di pahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami islam tentang pengembangan individu seutuhnya.
Setidaknya ada dua implikasi terpenting dalam hubungannya dengan pendidikan islam, yaitu :
1.      Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu kea rah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Hal ini berarti bahwa system pendidikan islam harus di bangun di atas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan  Qalbiyah dan Aqliyah  sehingga mampu menghasilkan manusia muslim yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen itu terpisah atau dipisahkan dalam proses kependidikan islam, maka manusia akan kehilangan keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi pribadi-pribadi yang sempurna (Al-insan Al-Kamil)
2.      Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di ala mini adalah sebagai khalifah dan’abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah SWT membekali manusia dengan seperangkat potensi. Dalam konteks ini, maka pendidikan islam harus merupakan upaya yang di tujukan kea rah pengembangan potensi yang di miliki manusia secara maksimal sehingga dapat di wujudkan dalam bentuk konkrit.
Kedua hal diatas harus menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan mengembangkan system pendidikan islam masa kini dan masa depan. Fungsionalisasi pendidikan islam dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada sejauh mana kemampuan umat islam menterjemahkan dan merealisasikan konsep filsafat penciptaan  manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta ini. Untuk menjawab hal itu, maka pendidikan islam di jadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya islami dari satu generasi kepada generasi  berikutnya. Dalam konteks ini di fahami bahwa posisi manusia sebagai khalifah dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang menawarkan sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegar sebagai khalifah dan taqwa sebagai subtansi dan aspek ‘abd. Sementara itu,  keberadaan manusia sebagai resultan dari dua komponen (mater dan immateri) menghendaki pula program pendidikan yang sepenuhnya mengacu pada konsep equilibrium, yaitu integrasi yang utuh antara pendidikan aqliyah dan qalbiyah.
               Agar pendidikan umat berhasil dalam prosesnya, maka konsep penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus sepenuhnya diakomodasikan dalam perumusan teori-teori pendidikan islam melalui pendekatan kewahyuan, empiric keilmuan dan rasional filosofis. Dalam hal ini harus difahami pula bahwa pendekatan keilmuan dan filosofis hanya merupakan media untuk menalar pesan-pesan tuhan yang absolute, baik melalui ayat-ayatNya  yang bersifat tekstual (Qur’aniyah), maupun ayat-ayat Nya yang bersifat kontekstual (Kauniyah) yang telah di jabarkanNya melalui sunnatullah.








[1] Drs. Burhanuddin Salam, Filsafat Manusia(antropologi metafisika(,Jakarta: Bina aksara, 1998), hal.20
[2] Sidi Gazalba, Sistimatika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang), 1973, hal.393
[4] Prof. Dr. Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Al-Husna Zikra Cet.I, 2000), hal. 302.

[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Diponegoro, 2010), hal 597
[6] Ibid  hal 4
[8] Prof.Dr.H.Abuddin Nata,MA, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005, hlm.88
[9] Prof.Dr.H.Abuddin Nata,MA, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2005, hlm.89
[10] Dr. M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”, (Bandung, Mizan, Cet. XXV, 2003), hal. 158
[11] Dra. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1991, hlm.77
[12] Hakikat Manusia Dalam Filsafat Islam http://www.jaringankomputer.org/filsafat-pendidikan-islam/, sabtu, 10/03/2012